KOMPAS.com - Perilaku korupsi makin merajalela, perilaku pejabat publik yang amoral, kekerasan rumah tangga, pertikaian antarwarga, narkoba, berbagai tindak kejahatan, dan kekerasan yang mengatasnamakan agama, sepertinya ketidakadilan yang terus mengoyak bangsa kita terus menggerus dan merongrong nilai-nilai Pancasila.
Namun, masih ada asa di tengah berkembangnya dan bertambahnya fenomena sosial yang terjadi di masyarakat.
Sudah sepantasnya kita bercermin setelah melihat hal tersebut. Bagi umat Kristiani, momentum Natal harus dimaknai dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Hakekat Natal semestinya bukan hanya diisi dengan ritual dan seremoni keagamaan saja, tetapi harus senantiasa mencerminkan semangat kerukunan persaudaraan sejati, semangat kasih, kesederhanaan, serta semangat berbelarasa.
Beberapa hal tersebut diungkapkan Uskup Agung Jakarta Mgr Ignatius Suharyo, Pr. dalam kaitannya dengan makna Natal dan semangat kebangsaan.
Berikut petikan wawancara khusus Radio Sonora bersama Uskup Agung, Rabu (19/12/2012) lalu.
Apa pesan natal tahun ini dan bagaimana gereja bisa menggugah umat, agar Natal bukan sekedar acara seremonial saja?
Pesan Natal bersama Persekutuan Gereja-Gereja Indonesia (PGI) dan Konferensi Wali Gereja Indonesia (KWI) agar umat kristiani yg merayakan natal agar mengalami peristiwa ini sebagai wujud dari Allah yang mengasihi kita. Allah adalah kasih (bdk. 1 Yoh 4:8.16b) dan ketika orang mengalami kasih orang tersebut akan bertanggung jawab dan memberi kesaksisan akan Allah kasih.
Jika Natal sebagai perayaan moral maka implikasinya adalah tanggung jawab yang disadari betul untuk mengembangkan kasih dalam keluarga, masyarakat baik lingkup kecil atau pada posisi strategis, mestinya dilandaskan pengalaman kasih, sehingga buah-buah kasih akan dirasakan banyak orang. Secara teknis merayakan natal adalah merayakan iman yang implikasi indikasi iman akan tampak dalam perayaan yang berbuah imperatif moral dalam pola pikir dan perilaku moral.
Dengan Natal kita diajak untuk melibatkan diri dalam usaha mengatasi persoalan konflik kemanusiaan, intoleransi sehingga semakin beriman sama artinya semakin bersaudara. Kemudian menumbuhkan semangat belarasa lewat jabatan di masyarakat dengan semangat kemiskinan jasmani dan rohani tetapi juga berbelarasa terhadap alam ciptaan lingkungan.
Sepanjang Tahun 2012 kekerasan mengatasnamakan agama masih terus terjadi. Bagaimana gereja menyikapi hal tersebut?
Tepat pada 25 Desember 2005, Paus Benediktus XVI mengeluarkan ensiklik pertamanya berjudul Allah adalah Kasih (Deus Caritas Est), alasan utama kenapa Paus menulis hal tersebut karena tidak jarang kekerasan dan kebencian diantara sesama justru dilandaskan atau dilakukan atas nama Allah.
Pertanyaannya Allah yang seperti apa? Yang dipakai, diyakini, dan diimani yang mewajibkan dendam seperti itu. Menurut Paus Benediktus sebagai Umat Kristiani menurut keyakinannya iman Allah yang disembah adalah kasih, sehingga bentuk kekerasan atas nama agama apapun pasti salah.
Hingar bingar dan gaduh politik di tahun 2012 terkesan sudah sangat mengabaikan aspek moral dan etika. Bagaimana gereja memandang genta demokrasi di Indonesia?
Saya bukan politikus, tetapi sebagai pembaca koran biasa saya ikut prihatin, dengan berbagai berita yang diwartakan dan diberitakan terkait perilaku para politikus dan pejabat publik akhir-akhir ini. Sebenarnya masih banyak hal yang harus dikerjakan.
Lantas bagaimana tanggung jawab moral para pemimpin negara dan politikus? Moral dan etika politik dari sudut pandang kristiani sejatinya sangat sederhana, di mana, dari apa yang diputuskan, dikerjakan harus demi kebaikan bersama. Tolok ukurnya jika sebuah undang-undang dirumuskan apakah ada jual beli pasal atau ada pasal yang diselipkan demi kepentingan tertentu atau sungguh demi kepentingan umum.
Akhir-akhir ini marak berita tentang perilaku para pejabat yang malah mengumbar kesenangan duniawi seperti perilaku korupsi, poligami, kekerasan rumah tangga, bukan malah memikirkan bagaimana mengentaskan masalah sosial, kemiskinan dan lingkungan hidup?
Perlu dibedakan antara moral pribadi dan moral pejabat publik tetapi keduanya tidak serta-merta bisa dipisahkan. Semestinya pejabat publik itu mumpuni keduanya, secara moral pribadi terpuji dan moral publik teruji. Hal ini tergantung bagaimana orang memandang suatu kekuasaan.
Semestinya semakin tinggi jabatannya, semakin luas wilayah pengabdiannya. Sekarang ini sudah terbalik. Mendapatkan jabatan untuk memperkaya diri dan kepentingan sendiri saja.
Walaupun ada uji kelayakan dan uji kepatutan (fit and proper test) tidak menutup kemungkinan adanya praktek jual beli, dan membayar sejumlah uang agar lolos seperti cerita koran, dan itu merupakan tantangan nyata dan kita harus belajar banyak, sehingga kedepannya semua menyadari, akan proses untuk menjadi lebih baik.
Bagaimana gereja memandang tentang pendidikan karakter bangsa, yang semakin hari nilai budi pekerti dan moral semakin luntur?
Pertanyaan diatas sangat jelas tetapi jawabannya yang susah. Memang di balik itu semua ada realitas yang komplek. Sekarang ini ada istilah de-tradisionalisasi yang artinya nilai yang dulu ketika saya masih muda tradisi dijunjung tinggi. Namun kondisi tersebut saat ini jadi terbalik karena dulu nilai tradisi mulia saat ini dianggap ketinggalan jaman.
Tidak mudah untuk sekedar menjawab pertanyaan dengan menambah budi pekerti dan pelajaran agama. Karena jatidiri seseorang dalam berbagai masa zaman berbeda, dulu saat masyarakat terkekang untuk berpikir, orang akan berkata saya berpikir maka saya ada.
Tetapi saat ini sudah lain, di mana saya belanja saya ada, sehingga jatidiri, identitas dan harga diri ditentukan oleh berapa banyak saya belanja dan apa yg saya belanjakan. Orang tidak enggan belanja ratusan juta rupiah untuk sekedar membeli merek.
Realitas ini dijawab sederhana tetapi para ahli pendidikan harus berpartisipasi untuk masalah pendidikan ini.
Secara konseptual maka dari sudut pandang Gereja Katolik, bisa dianalogikan Jika saya berbelarasa maka saya ada, seperti salah satu nas Kitab Suci Yesus berkata, " Hendaknya kamu berbelarasa, seperti halnya Bapamu di sorga mengasihimu." Itulah sejatinya jatidiri Orang Kristiani.
Selamat Natal 20012 dan Tuhan Beserta Kita!
Anda sedang membaca artikel tentang
Wawancara Khusus dengan Uskup Agung Jakarta
Dengan url
http://naturalhealthybeautifulskin.blogspot.com/2012/12/wawancara-khusus-dengan-uskup-agung.html
Anda boleh menyebar luaskannya atau mengcopy paste-nya
Wawancara Khusus dengan Uskup Agung Jakarta
namun jangan lupa untuk meletakkan link
Wawancara Khusus dengan Uskup Agung Jakarta
sebagai sumbernya
0 komentar:
Posting Komentar